Si Karindangan
Tinggal menghitung hari lagi, fase Kanada akan segera berakhir. Minggu ini kami mulai disibukkan dengan berbagai aktivitas persiapan culture...
Tinggal menghitung hari lagi, fase
Kanada akan segera berakhir. Minggu ini kami mulai disibukkan dengan berbagai
aktivitas persiapan culture Show. Para Canadian terlihat sangat gembira, karena
sebentar lagi akan menuju Fase Indonesia. Termasuk Eliot, yang sudah mulai
bertanya-tanya tentang aktivitas dan kondisi yang akan kita lakukan di
Cikandang, Jawa Barat.
Sebelum ke Cikandang, kami
melakukan berbagai kegiatan untuk mendapatkan target sebesar $ 3333,33. Dana
itulah yang nantinya akan kami gunakan untuk mengabdi di Cikandang. Membangun
proyek keripik kentang dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sana.
Tentunya, akan menyenangkan. Mencapai target sebesar itu bukanlah hal yang mudah. Namun,
untungnya kami masih bisa saling menyemangati.
“Find
togetherness, and just enjoy. We can get It. Keep optimism”
kataku
Selama masih bekerja sama, dana itu
akan di dapatkan, selama kita usaha.
Beberapa Minggu yang lalu misalnya,
pelaksanaan Spageti Night, sambil menjual beberapa souvenir dari Indonesia, dan Cook
Book Multicultural Indonesia-Canada yang kami buat. Usaha itu tidaklah sia-sia,
selalu ada jawaban dari usaha yang penuh. Hasilnya, kami mengumpulkan dana
sebesar $ 1200. Sisanya, semoga bisa di dapat saat Culture Show.
“Kenapa kita bisa dapat banyak, itu
karena Cook Book bro” sambil menepuk pundak Sufi.
Beberapa Minggu ini, aku belajar
banyak hal dari Sufi Indha Akbari. Panggilannya Sufi, dia sudah mengerjakan
Cook Book dengan baik, mendesain dan mengumpulkan resep. Dia mengajak aku dan
Eliot sedikit gila dengan proyek Cook Booknya, semisal Minggu lalu kami keluar
bersepeda melawan suhu 0 derajat. Berkeliling-keliling kota hingga menemukan
Rumah Fanny dan Vegy untuk mencetak dan mendapatkan beberapa lembar resep. Sufi
punya banyak keinginan dan rencana yang terjadwal.
“Pusing kepalaku Wan, kalau belum
jadi-jadi” curhatnya
Pada saat desain sampul Cook book,
Sufi bermalam di rumahku. Aku menemani sekaligus menjadi penilai pertama
tentang desain, sekaligus berbagi ide. Saat bekerja di kamarku, dia juga pusing
karena melihat buku-buku berantakan, kabel laptop yang melilit buku. Hingga
paginya, dia membersihkan seluruh kamarku.
Melihat kamar bersih, Eliot
langsung mengatakan Sufi itu seperti seorang ibu. Rajin bersih dan punya banyak
rencana. Di kepalanya, ada berbagai hal yang ingin dia lakukan tapi kadang di
simpan sendiri. Dia mendapatkan sesuatu dengan rencana yang telah disusun sedemikian
rupa. Misalnya saja, persiapan dia mengikuti seleksi PPAN yang telah dia persiapkan
setahun sebelumnya.
Menyanyi dan menari adalah dua kata
yang bisa diasosiasikan padanya. Suaranya bisa berubah warna, tubuhnya lentur
dalam menguasai Tarian daerah maupun dance modern. Dia senang bernyanyi, entah
genre apa lagu itu. Semuanya disikat habis tak tersisa. Menurutku, dia berbakat
jadi seorang entertainment.
Dia juga pandai memasak, sudah
beberapa kali dia mengajarku untuk meracik bumbu seadanya menjadi makanan yang
enak di santap. Kemarin hal terbaru yang dia lakukan adalah menyulap kamarku
menjadi studio mini sederhana. Dengan peralatan yang dia dapat dari Habitat
Restore, tempatnya menjadi volunter. Di bantu dengan Karim, hingga video untuk
persiapan Culture Show siap dia garap.
Selama dua hari, kami menunggu
siapa saja yang siap untuk di video. Di hari kedua, yang tersisa adalah Nisa ; Sarah
dan Vegy : Fanny. Sisanya, sudah diselesaikan di hari pertama. Sambil menunggu
mereka datang, Sufi melihat alat pangkas rambut di kamar mandi. Dia memangkas
rambutnya sendiri, hingga Karim yang tiba-tiba datang , mengajukan permintaan
gunting rambut gratis.
“Kamu bisa potong rambut? Belajar
dimana Fi?” tanya Karim
“Ibuku di rumah punya Salon, jadi
aku bisa sedikit”
Akhirnya Sufi mengeksekusi rambut
Karim, meskipun yang disentuh hanya rambut bagian samping. Dia tak berani
menyentuh bagian depan, katanya “itu mahkota laki-laki Wan”
Sekitar 15 menit mengeksekusi
rambut Karim, dia ke kamar memanggilku.
“Kamu mau potong rambut juga Gak?
Sekalian”
“Karim bagaimana? Beres ji?”
“Sudah mi” katanya sambil mengikuti
dialek Makassarku
“Ok, mantap. Boleh”
Akhirnya, rambutku dirapikan dan
dieksekusi. Perihal potong rambut di Kanada, Sufi sangat membantu kondisi
keuangan. Masalahnya, untuk ke salon dan potong rambut membutuhkan biaya yang
cukup menguruskan dompetku. Berkisar $15 sampai $20, jika dirupiahkan sekitar
Rp. 150.000 hingga Rp 200.000. Maka, beruntunglah Sufi datang membantu.
Sehari sebelumnya, ibuku menegur
rambutku yang terlalu panjang. Dia melihatku lewat skype.
“Potong rambut, jelek rambutnya
saya liat Nak”
Bisa jadi Sufi menjawab doa Ibuku
yang berdoa agar rambutku tidak terlihat terlalu panjang. Seperti itulah Sufi, anak yang juga sangat
sayang pada keluarga. Dia juga dikenal sebagai Bapak Karindangan. Lagu
tradisional yang dia nyanyikan dengan alunan nada yang beda dari biasanya.
Minggu pagi ini, dia kemudian di sibukkan dengan mengedit video yang akan kami tunjukkan
di Culture Show.
“Dia manusia yang unik dan gila”
Gara-gara dia sering mengatakan
Gila, maka Eliot juga ikut mengatakan itu.
“Sufi Giilaaaa” kata Eliot
“Kamu yang gila” balasnya
Aku masih akan banyak belajar
darinya, bukan hanya dari dia. Tapi seluruh orang yang kutemui di setiap persinggahan.
“Jadikan semua orang itu guru,
jadikan semua tempat itu sekolah” seperti itulah pesan orang bijak
Namun beberapa bulan yang lalu, Kak
Feby salah seorang alumni PPIK tahun kemarin menambahkannya, “Jadikan semua orang itu guru, jadikan semua tempat itu
sekolah, jadikan semua jalan itu catwalk”
Semua mesti di lewati denga kuat, termasuk mendapatkan target-target hidup
Albert Einsten
dalam suratnya kepada anaknya mengatakan “Life
is like riding a bicycle. To keep balance you must keep moving”
Badai pasti berlalu, keep optimism!
2 comments
Semangat.... hebat daeng.... !!! semoga energi optimisnya dapat menular ke teman-teman yag lain...
ReplyHebat....Titip daun Mapple dari Kanada ya !!!
Reply